PARADOKS NEGERI PETRO DOLLAR
Catatan Perjalanan Fasilitasi
Siang menyengat. Bekas lumpur
masih menempel di sepatu saat melewati jalan lumpur usai hujan kemarin.
Panasnya sang mentari belum mampu menguapkan jejak air yang menggenang. Alur
jalan yang terhampar tanpa aspal membuatku layaknya seorang crosser. Meliuk,
menghindar lubang dan genangan air. Kata seorang sahabat, inilah indahnya
menjadi seorang aktivis, seorang fasilitator.
Profesiku membuat aku menjelajahi
sudut-sudut sempit, menikmati harmoni alam. Menikmati getir hidup diantara
semangat penghuninya. Hari ini untuk yang kedua kali aku kesini. Kampong Teluk
Kadere. Kampung yang terletak di sebuah sudut dari negeri Petro Dollar, Kota
Bontang Kaltim.
Seorang ibu duduk di hadapanku. Aku
sedang melakukan wawancara profil keluarga. Dari roman wajahnya terlihat jelas
lukisan sulitnya hidup yang dihadapi. Kerutan wajahnya seolah mewakili
kegetiran hidupnya. Dan kisahpun tertutur dari bibirnya…
Juliana, seorang ibu yang
memiliki 4 orang anak. Perempuan paruh baya ini tak mampu menyekolahkan anaknya
ke jenjang yang lebih tinggi. Suaminya hanyalah pekerja serabutan. Alih-alih
untuk membiayai anaknya sekolah, untuk kebutuhan dapur saja harus menerapkan
manajemen “kencangkan ikat pinggang”.
Memang ada seorang anaknya yang sekolah di SMP, tapi itupun harus dibiayai oleh
pamannya. Sedangkan anaknya yang lain harus puas dengan hanya menempuh
pendidikan di sekolah dasar.
“Meski saya tak mempunyai
pendidikan. Saya ingin anak saya pintar. Cukuplah orangtuanya yang tidak pandai
membaca. Paling tidak jika ada surat,
anak saya dapat membacakannya untuk saya”, ujar Juliana. Harapan sederhana,
meski untuk mewujudkannya tak sesederhana harapannya.
Sementara itu, di sudut lain ….
Anak-anak sekolah mengendarai sepeda
motor dengan anggunnya. Menenteng tas berkilat diantara pernik-pernik aneka
warna. HP keluaran terbaru. Seragam rapi bersih. Penampilan yang terkesan
“wah”. Tidak jarang malah ditingkahi dengan tawuran.
Apakah anak yang terlahir dari
sebuah keluarga miskin tidak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak?
Ataukah sebuah kesalahan terlahir dari keluarga miskin? Andai mereka bisa
memilih, anak-anak ini tentu saja akan memilih kehidupan yang lebih layak.
Andai bisa memilih, tentu saja mereka lebih memilih berada di ruang-ruang kelas
ketimbang harus bergelut dengan parang dan cangkul.
Seperti paradoks panas dan
lumpur, kembali kutemukan ironi itu dalam kehidupan nyata, dalam keseharian
penduduk Teluk Kadere. Miris! Betapa
tidak? Daerah yang kaya raya dengan perusahaan raksasa kelas dunia, masih
menyisakan jejak kemiskinan dan kantong-kantong kumuh. Juliana hanyalah salah satu
dari sekian banyak keluarga miskin lainnya
di sudut kota
petro dollar ini.
Apa yang salah dengan semua ini?
Tanpa bermaksud mencari siapa yang salah, kondisi ini tetap saja menggelitik
nurani. Meski harus diakui, sudah sangat banyak program yang dilakukan
pemerintah untuk mengatasi masalah pendidikan dan kemiskinan. Tulisan ini tidak
bermaksud menyudutkan ataupun memvonis pihak-pihak tertentu. Ini hanya sebagai
alarm, hanya sebagai pengingat bahwa disudut kota petro dollar ini masih saja ada
komunitas marjinal, yang tidak mampu bersaing bahkan untuk sekadar
mempertahankan hak hidup yang layak. Jangan sampai hak mereka tercerabut hanya karena
keterbatasan yang ada. Maka tugas kitalah untuk membantu mereka menemukan jalan
hidup yang lebih baik.
Awal November 2012, setelah kuputuskan tuk kembali ke “barisan”
ditulis tidak untuk menghakimi, tetapi mengingatkan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong jangan memberikan komentar yang menyudutkan, agitasi ataupun berbau ras.. Terima Kasih. -NS-