Rabu, 07 November 2012

PARADOKS NEGERI PETRO DOLLAR



PARADOKS NEGERI PETRO DOLLAR
Catatan Perjalanan Fasilitasi

Siang menyengat. Bekas lumpur masih menempel di sepatu saat melewati jalan lumpur usai hujan kemarin. Panasnya sang mentari belum mampu menguapkan jejak air yang menggenang. Alur jalan yang terhampar tanpa aspal membuatku layaknya seorang crosser. Meliuk, menghindar lubang dan genangan air. Kata seorang sahabat, inilah indahnya menjadi seorang aktivis, seorang fasilitator.

Profesiku membuat aku menjelajahi sudut-sudut sempit, menikmati harmoni alam. Menikmati getir hidup diantara semangat penghuninya. Hari ini untuk yang kedua kali aku kesini. Kampong Teluk Kadere. Kampung yang terletak di sebuah sudut dari negeri Petro Dollar, Kota Bontang Kaltim.

Seorang ibu duduk di hadapanku. Aku sedang melakukan wawancara profil keluarga. Dari roman wajahnya terlihat jelas lukisan sulitnya hidup yang dihadapi. Kerutan wajahnya seolah mewakili kegetiran hidupnya. Dan kisahpun tertutur dari bibirnya…

Juliana, seorang ibu yang memiliki 4 orang anak. Perempuan paruh baya ini tak mampu menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Suaminya hanyalah pekerja serabutan. Alih-alih untuk membiayai anaknya sekolah, untuk kebutuhan dapur saja harus menerapkan manajemen “kencangkan ikat pinggang”. Memang ada seorang anaknya yang sekolah di SMP, tapi itupun harus dibiayai oleh pamannya. Sedangkan anaknya yang lain harus puas dengan hanya menempuh pendidikan di sekolah dasar.

“Meski saya tak mempunyai pendidikan. Saya ingin anak saya pintar. Cukuplah orangtuanya yang tidak pandai membaca. Paling tidak jika ada surat, anak saya dapat membacakannya untuk saya”, ujar Juliana. Harapan sederhana, meski untuk mewujudkannya tak sesederhana harapannya.

Sementara itu, di sudut lain ….
Anak-anak sekolah mengendarai sepeda motor dengan anggunnya. Menenteng tas berkilat diantara pernik-pernik aneka warna. HP keluaran terbaru. Seragam rapi bersih. Penampilan yang terkesan “wah”. Tidak jarang malah ditingkahi dengan tawuran.

Apakah anak yang terlahir dari sebuah keluarga miskin tidak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak? Ataukah sebuah kesalahan terlahir dari keluarga miskin? Andai mereka bisa memilih, anak-anak ini tentu saja akan memilih kehidupan yang lebih layak. Andai bisa memilih, tentu saja mereka lebih memilih berada di ruang-ruang kelas ketimbang harus bergelut dengan parang dan cangkul.

Seperti paradoks panas dan lumpur, kembali kutemukan ironi itu dalam kehidupan nyata, dalam keseharian penduduk Teluk Kadere. Miris! Betapa tidak? Daerah yang kaya raya dengan perusahaan raksasa kelas dunia, masih menyisakan jejak kemiskinan dan kantong-kantong kumuh. Juliana hanyalah salah satu dari sekian banyak keluarga miskin lainnya  di sudut kota petro dollar ini.

Apa yang salah dengan semua ini? Tanpa bermaksud mencari siapa yang salah, kondisi ini tetap saja menggelitik nurani. Meski harus diakui, sudah sangat banyak program yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pendidikan dan kemiskinan. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan ataupun memvonis pihak-pihak tertentu. Ini hanya sebagai alarm, hanya sebagai pengingat bahwa disudut kota petro dollar ini masih saja ada komunitas marjinal, yang tidak mampu bersaing bahkan untuk sekadar mempertahankan hak hidup yang layak. Jangan sampai hak mereka tercerabut hanya karena keterbatasan yang ada. Maka tugas kitalah untuk membantu mereka menemukan jalan hidup yang lebih baik.

Awal November 2012, setelah kuputuskan tuk kembali ke “barisan”
ditulis tidak untuk menghakimi, tetapi mengingatkan..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong jangan memberikan komentar yang menyudutkan, agitasi ataupun berbau ras.. Terima Kasih. -NS-

JEJAK PEDULI DI TEKASALO

JEJAK PEDULI DI TEKASALOKemitraan – KBCF. Program yang baik adalah yang mampu menciptakan kemandirian. Begitulah... Posted by Salim L...